Selasa, 19 Mei 2009
AGAR DOMBA TAK DITERKAM SERIGALA
“Sesungguhnya setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing,
ia akan menerkam kambing yang keluar dan menyendiri dari kawanannya. Karena itu,
jauhilah perpecahan, dan hendaklah kamu bersama jama'ah dan umat umumnya”
(HR. Ahmad & Tirmidzi)
Hadits di atas merupakan perumpamaan yang pas tentang pentingnya hidup berjama'ah. Bila tak ingin diterkam setan, seorang muslim harus menjauhi kebiasaan menyendiri. Sendiri dalam bekerja, sendiri dalam beramal dan sendiri dalam mengarungi samudra kehidupan. Sebaliknya, ia harus berusaha mencari kawan seiman, seaqidah, seperjuangan, yang akan saling menjaga dan mengingatkan.
Jama'ah yang dimaksud di atas, seperti diterangkan Imam Syathibi, adalah umat Islam (Jama'atul Muslimin) yang menyepakati seoranh khalifah melalui perangkat syuro. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Ibnul Hajar al-Asqolani. Sehingga, Jama'atul Muslimin memiliki tiga komponen: khalifah, syuro dan umat Islam.
Khalifah merupakan pemimpin tertinggi, syuro sebagai mekanisme pengangkatan khalifah tersebut (wakil-wakil yang ikut syuro sering disebut dengan ahlul halli wal'aqdi), dan umat Islam sebagai basis demografinya. Itulah Jama'atul Muslimin, sistem dan tatanan yang menata kehidupan umat dan kemakmuran bumi di bawah supremasi Islam yang penuh rahmat.
Melihat pengertian Jama'atul Muslimin seperti itu, maka mayoritas ulama sepakat bahwa jama'ah seperti itu kini tak ada lagi. Bahkan sejak 3 Maret 1924. Hari itu, Majelis Besar Nasional Turki di bawah pimpinan Musthafa Kemal Pasha Ataturk, mengumumkan secara resmi dilenyapkannya rantai emas sejarah umat Islam: kekhalifahan.
Tidak adanya jama'ah yang dimaksud di atas, menjadikan setiap muslim wajib berusaha mewujudkannya. Usaha itu bukannya belum dimulai. Sejak runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah itu, muncul, misalnya, gagasan pan-islamisme ari Sayyid Jamaluddin al-Afghani, atau etos tauhid-nya Dr. Muhammad Iqbal. Selain itu, ada juga nama-nama seperti Muhamma Rasyid Ridho dan Muhammad Abduh, yang turut menyemarakkan upaya merintis kembali kejayaan yang hilang itu. Sedangkan secara kolektif, konferensi-konferensi Islam internasional juga banyak bermunculan. Salah satunya Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Usaha secara kolektif itu kian hari kian beragam. Makin lama makin banyak wajah-wajah kolektif umat Islam dalam memperjuangkan kembalinya Jama'atul Muslimin, menyebar ke penjuru dunia termasuk di Indonesia.
Tetapi semua kolektifitas yang ada itu belum bisa diklaim sebagai Jama'atul Muslimin, karena belum sesuai dengan ciri dan kriteria yang diterangkan di muka. Berangkat dari kenyataan itu, wacana tentang jama'ah yang riil saat ini sebenarnya berurat dan berakar dari konsep amal jama'i, sebuah konsepsi tentang pentingnya bekerja sama untuk menegakkan Islam, mengembalikan khilafah islamiyah dan mewujudkan kembali adanya Jama'atul Muslimin. Dengan kata lain, bila amal jama'i adalah perilakunya, maka wadah dan organisasi yang digunakan untuk beramal jama'i –baik ada namanya atau tidak- itu secara bahasa bisa disebut jama'ah.
Dan, berlandaskan pada optimisme dan rasa ingin dekat (isti'nas) kepada Jama'atul Muslimin itu, usaha-usaha kolektif itu juga sering dinamai jama'ah atau Jama'atul Minal Muslimin (komunitas dari kaum muslimin). Sementara itu Dr. Shalah Asshawi, menamakan komunitas-komunitas tadi dengan tajammu'at al-islamiyah (perkumpulan-perkumpulan Islam), tak masalah, ini hanya soal nama.
Kenapa Mesti Berjama'ah?
Setiap muslim semestinya hidup berjama'ah. Karena Islam yang harus ditegakkannya bersifat menyeluruh (syamil), sempurna (kamil), saling menyempurnakan (mutakamil). Sementara umat Islam -sebagai manusia- memiliki kapasitas dan kemampuan yang sektoral dan sangat terbatas. Maka, untuk mengupayakan agar Islam yang sempurna tetap bisa teraplikasikan secara sempurna, tak dipungkiri lagi bahwa manusia perlu saling menambal keterbatasannya itu. Alasan ini bisa disebut sangat personal. Artinya, umat Islam itu merupakan “person-person” penuh kekurangan yang membutuhkan jama'ah.
Selain alasan personal, Islam sendiri sebagai ideologi dan peraturan hidup sangat membutuhkan wadah aktualisasi. Dr. Salim Segaf Al-Jufri, pernah menyatakan, “Tidak pernah ada peradaban yang berkembang tanpa dukungan struktural yang kokoh. Setiap peradaban hampir selalu melalui tiga fase besar untuk berkembang. Pertama, fase perumusan ideologi dan pemikiran. Kedua, fase strukturalisasi dan ketiga, fase perluasan (ekspansi). Ideologi-ideologi besar semuanya mengalami tiga fase tersebut. Lihatlah komunisme, kapitalisme barat dan juga zionisme.”
lalu, jama'atul minal muslimin atau tajammu'at al-islamiyah yang bagaimana yang sebaiknya kita pilih. Pertama, mempunyai visi dan misi yang jelas, utuh dan tidak parsial. Jama'ah yang tujuan akhirnya hanya mencari ridho Allah. Sementara tujuan jangka panjangnya mengembalikan supremasi Islam dalam segala bidang. Dari khilafah hingga ibadah, dari undang-undang hingga tatanan sosial. Karena Islam adalah aqidah dan ibadah, pedang dan negara, akal dan jasad, organisasi dan masyarakat, jihad dan perdamian, dunia dan akhirat.
Kedua, jama'ah yang manhaj dan aplikasinya mengacu kepada sirah Rasul dan para sahabatnya. Sehingga bisa diukur, apakah sebuah jama'ah mampu konsisten dengan manhaj dan cara yang halal dan sah, ataukah membenarkan pelanggaran-pelanggaran demi tercapainya tujuan.
Ketiga, jama'ah yang mampu menyiasati segala perubahan jaman. Dapat memanfaatkan apa yang muncul dari teknologi ataupun peradaban baru, untuk kemaslahatan Islam, tanpa harus merusak keaslian Islam itu sendiri. Point ke-3 ini tak jarang sering menjebak jama'ah-jama'ah yang ada kepada sikap ekstrimisme (ghuluw). Ada yang menolak mentah-mentah, ada juga yang sangat longgar menelan apa adanya.
Lantas, bila di sebuah negeri muslim ada satupun jama'ah yang dimaksud, apa yang harus dilakukan setiap muslim? Tugas mereka adalah bekerja keras mengupayakan berdirinya jama'atun minal muslimin itu. Namun bagaimana kalau ada lebih dari satu? Seperti dijelaskan oleh Syaikh Jabir Husain, harus dilihat mana di antara jama'ah atau tajammu'at tersebut yang lebih sedikit kekurangannya. Kekurangan yang dimaksud harus bukan soal prinsip agama (ushuluddin), seperti soal aqidah. Bila sebuah jama'ah memiliki aqidah dan pokok-pokok agama yang menyimpang, tidak dibenarkan bagi seorang muslim mengikutinya. Namun, bila kekurangan itu dalam urusan cabang-cabang agama, apalagi dalam hal-hal yang sifatnya ijtihad manusia, tak bisa dijadikan alasan bagi seorang muslim untuk tidak bergabung bersamanya. Justru ia harus masuk dan berusaha memperbaiki kekurangan yang ada. Kesimpulannya, di negeri yang telah ada berbagai jama'ah yang ada, seorang muslim harus bergabung dengan jama'ah yang paling dekat kepada Islam.
Akhirnya, bila setiap muslim mau mengamalkan kembali ajaran-ajaran di atas, tak berlebihan bila harapan umat ini kepada kembalinya kejayaan Islam kian terang. Bukankah perintah hidup berjama'ah sama nilainya dengan perintah-perintah penting lainnya dalam Islam? Bukankah justru dengan hidup berjama'ah, problema-problema besar umat ini lebih mungkin dicari solusinya?
Kalaupun tak dapat mengejar tujuan-tujuan besar seperti itu, dengan hidup berjama'ah, setidaknya kita harus mati diterkam 'serigala' dalam kesendirian.
Wallahu a'lam bishowab
sumber: tarbawi edisi 5 th.I
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar