Rabu, 10 Juni 2009
BOEDIONOMICS
Artikel ini Cuplikan dari Republika (9/6) dengan judul 'BOEDIONOMICS'
Ada tiga sektor yang menjadi fokus Boediono dalam pembangunan ekonomi ke depan. Seperti disampaikannya saat berkunjung ke redaksi Republika, Senin (8/6), di Jakarta. Boediono berusaha menyeimbangkan dua sejoli tumpuan perekonomian, hard infrastucture dan soft infrastucture.
1. Infrastuktur
Ini menjadi fokus dan kunci untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi. Sejak 11 tahun terakhir, sektor ini pas-pasan, bahkan tertinggal dibanding negara Asia. Sektor listrik, pembangunan jalan, kereta api, dan sarana/prasarana infrastruktur lainnya (hard infrastructure) berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
2. Pelayanan Masyarakat
Sesuai slogan pemerintah bersih, pelayanan masyarakat (soft infrastructure) menjadi poin penting berikutnya. Pengurusan tanah, KTP, dan hal remeh lainnya ternyata berimbas ke dunia usaha. Perbaikan ini harus sejalan dengan pembangunan infrastruktur fisik. Soft dan hard infrastructure merupakan dua sejoli tumpuan perekonomian.
3. Intervensi negara untuk kesejahteraan rakyat
Intervensi ini terutama ditujukan untuk kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah. Dana APBN harus dipakai untuk keperluan masyarakat luas, seperti pembangunan jalan di wilayah pelosok, bantuan langsung tunai (BLT), PNPM, Raskin, KUR, Program Keluarga Harapan, dsb.
Bagaimana dengan Ekonomi Syariah?
"Ekonomi syariah merupakan opsi yang serius bagi ekonomi kita," kata Boediono, saat berkunjung ke redaksi Republika, Senin (8/6), di Jakarta.
Bahkan ekonomi syariah bisa menjadi kunci Indonesia keluar dari pengaruh krisis keuangan global saat ini. Salah satu sebabnya, sistem ekonomi berbasis nonribawi itu pro-sektor riil. Dibandingkan sistem ekonomi konvensional, Boediono mengakui transaksi dalam sistem ekonomi syariah dilandaskan pada kegiatan perekonomian yang konkret. Ini tentu berbeda dengan sistem konvensional yang boleh mendasarkan aktivitasnya pada transaksi derivatif.
’Kaitan dengan pembangunan di sektor riil lepas,’ katanya. Sementara itu, sistem ekonomi syariah dilandasi pada sektor riil.
Konsep bagi hasil (risk sharing) tanpa menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada debitor, menurut mantan gubernur Bank Indonesia ini, juga sebagai konsep yang mestinya diikuti perbankan konvensional.
Konsep ekonomi syariah pun tak mengenal kesenjangan antara sektor riil dan finansial. Bila di ekonomi konvensional dua sektor ini bisa berjalan tak seiring, di ekonomi syariah ada jembatan berupa bagi hasil atau sewa.
’Seringkali terjadi dana hanya berputar-putar di sistem keuangan derivatif, tanpa turun ke sektor riil. Ini tidak ter jadi di ekonomi syariah karena konsep bagi hasil itu,’ jelasnya. Bahkan, sistem bagi hasil ini telah diterapkan di proyek infrastruktur.
Melihat perkembangan saat ini, ekonomi syariah bisa berpotensi lebih besar lagi. Pertumbuhan ekonomi syariah, diukur dari perkembangan perbankan syariah saat ini, baru sekitar dua persen.
’Ekonomi syariah harus dimulai dari tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah (UM KM),’ jelas Boediono.
Tapi, mantan menko Perekonomian ini mencermati, perkembangan ekonomi syariah jangan sebatas jor-joran pembukaan cabang perbank ansyariah di mana-mana. Pertumbuhan cabang harus diimbangi dengan kualitas layanan dan produk syariah.
’Landasan pertumbuhan ekonomi syariah harus rasional. Jangan sekadar mendirikan bank-bank perkreditan rakyat syariah, tapi nanti mati di tengah jalan. Kalau terjadi, yang rugi syariah juga. Kompetisi di antara pelaku ekonomi syariah juga harus sehat. Dan, jangan ada hambatan. Jangan juga terlalu ekstrem, nanti mandek.’
Sejak menjadi menkeu di Kabinet Gotong Royong, Presiden Megawati Soekarno putri, Boediono mengaku selalu mendukung perkembangan ekonomi syariah. Kebijakan ini ia lanjutkan ketika menduduki kursi menko Perekonomian dan gubernur Bank Indonesia. ’Saya yakin ekonomi syariah bisa menandingi ekonomi konvensional.’
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar