Selasa, 09 Juni 2009

Pak Boediono yang Saya Kenal

satu lagi artikel tentang Cawapres Boediono.

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal Oleh Faisal Basri
14 Mei 2009

Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu diawali dengan kata "sinopsis," ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna.

Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati.

Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang "gonjang-ganjing" di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang.

Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka..

Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya.Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara.

Kalau ditanya yang "nyerempet-nyerempet," jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres.

Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: "Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah . Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah "cemberut" tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan "amplop" kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan.

Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.

Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba "wah." Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.Maju terus Pak Boed. Doa kami senantiasa menyertai kiprah Pak Boed ke depan, bagi kemajuan Bangsa.

Beberapa tanggapan di milist:

Saya setuju dgn tulisan Faisal Basri.Benar pak Boed adalah seorang yg sederhana, selalu senyum dan selalu mampu memberi penjelasan yg sederhana atas hal2 yg complex.Semasa kuliah, putri dari pak Boed adalah adik kelas saya. Seorang wanita cantik yg bersahaja dan bersahabat. Sedangkan saya mengenal pak Boed dari buku2 ekonominya yg mudah dimengerti.

Saya bertemu pak Boed di kampus karena dikenalkan oleh putrinya. Serta merta kami pun mendaulat pak Boed untuk berikan ceramah 1 jam. Tentunya kami hujani dgn banyak pertanyaan :D maklum msh students dan pak Boed layani pertanyaan2 dgn senyum dan penjelasan2 yg membuat kami paham. Akhirnya sesi kuliah dadakan itu molor jadi 3 jam.Tahun lalu saat saya hendak dinas ke Pekan Baru, terjadi delay pesawat lewat dari 2 jam. Akhirnya jam 9an pagi kami baru boarding. Alangkah kagetnya saya saat masuk ke pesawat, pak Boed duduk sendiri di kursi 1B sambil memberi senyum. Sama spt penumpang lain, beliau juga menunggu perbaikan pesawat (bedanya pak Boed duduk di ruang tunggu VIP). Tidak ada ajudan, pengawal, ataupun pejabat lain yg dampingi. Saat itu beliau masih menjabat Menko Ekuin. Setelah 10 tahun berlalu sama sekali saya tidak menyangka akan bertemu pak Boed lagi terutama setelah lost contact dgn putrinya after the May 1998.Demikian sharing dari saya.

Sekedar menambahkan dari pengalaman pribadi :
Anaknya P.Boed yg terakhir (cowok) adalah teman saya satu kantor. Sebelumnya saya tidak tahu kalo dia adalah anaknya P.Boed yg kala itu menjabat menjadi Menko di jaman Megawati. Bukan karena saya kuper, tapi anaknya memang sangat sederhana. Singkatnya, seperti kita2 yg tumbuh dari keluarga biasa2, bahkan terkesan "irit". Kalo sarapan ya hampir sama, Pop Mie dan dia juga masih suka jual CD ketengan di kantor, jadi beli 1 dos, lalu dijual ketengan, krn memang bidangnya IT (Programmer). Saya berpikir, kalau seandainya P.Boed seperti kebanyakan pejabat yg lain, tentu tidak rela anaknya kerja di tempat yg jauh (tidak di jakt) dan salarynya "normal". Cukup mendirikan PT INI-ITU, dan bertindak sebagai broker, tentu pendapatan anaknya ini, akan 10-100x dalam sekejap. Rumah tidak lagi kontrak.

Oya, kelupaan, waktu mash jadi kolega saya, rumahnya ngontrak, pas di sebelah rumah saya. Kalau P.Boed datang menjenguk, terutama stlh lahir cucunya, suka diem2 dan gak ada rame2. Bahkan agar pejabat daerah tidak setor muka, sering di jemput diem2 di bandara ama anaknya, pake mobil Forza buntut, beli bekas dari temen sekantor. Kalau ada pejabat daerah yg denger biasanya suka rame, dijemput ini-itu...biasa setor muka, terutama, pejabat daerah pajak, bank, dll.

Mengenai kesederhanaan, kebersajaan dan sikap rendah hati, TIDAK PERLU DIRAGUKAN. saya sebagai saksi disini. Mudah2an sikap itu tercermin juga diKEBIJAKSANAAN yg akan diambil P.Boed utk kesejahteraan masy. Indonesia. Salam,

Memang orangnya sederhana dan bersahaja gitu kok. Dulu jaman kuliah, biarpun beliau menteri, kemana-mana cuma ditemani satu ajudan/sopir. Walau jadi pejabat tinggi, orangnya tetap sederhana, tidak sombong, dan tidak meremehkan mahasiswanya. Jaman sekarang kan dosen belagunya minta ampun sama mahasiswa. Pernah di kelas kehabisan spidol, beliau sendiri turun tangga, ambil sendiri ke bagian tata usaha. Mana ada pejabat model begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar